Selasa, 01 Juli 2014

Opini: Pintalan Jogja Kalahkan Dunia!


Yohanes Dian Alpasa: Jurnalis
  


Berbagai sendi hidup masyarakat kita tergilas oleh perkembangan dunia. Itu tidak bisa dipungkiri. Mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan hingga perkembangan produk-produk pasar, semua itu mempengaruhi bangsa Indonesia. Standar dunia itu dicangkokkan sedemikian rupa pada pergaulan hidup sehari-hari hingga pada tatanan birokrasi. Maksudnya, dari busana, perlengkapan, sampai pada peralatan yang dipakai semua memakai standar yang ditetapkan orang luar kepada bangsa ini. Itu semua tantangan. Namun, masih ada kesempatan untuk berbenah.

Ironi Label
            Sungguh ironis bila kita gunakan produk luar yang notabene sambil merem saja bisa kita hasilkan. Sepatu harus impor, peralatan olahraga harus impor, bahkan baju yang bisa dijahit sendiri harus didatangkan dari luar. Tidak bisakah para ibu menjahitnya? Atau para bapak merancang desain sendiri yang lebih berkelas? Semua itu bisa dilakukan oleh penjahit-perancang terampil di daerah ini.
            Permasalahan pertama adalah pelabelan produk yang dimiliki sebagai standar harga diri. Semakin impor barang yang dimiliki maka semakin tinggilah harga dirinya. Barang-barang impor lebih mahal daripada produk Indonesia. maka, harga diri pemakainya adalah seberapa yang ia keluarkan untuk membeli barang kepemilikan itu. jadi, yang dimasalahkan pertama bukanlah mutu, tetapi seberapa tinggi harga yang dipatokkan.
            Label sebagai standar harga diri ini terjadi dimana-mana bahkan di pelosok sekalipun. Mereka yang mampu membeli bukanlah hanya pejabat tinggi dan pengusaha kaya saja. Orang-orang miskin yang berhutang kepada tetangga atau pegadaian akan mampu membeli barang mewah ini. Mutu standar rendah tidak mengapa asalkan harganya dapat meningkatkan status sosial.

Potensi
            Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pengrajin batik dan distributor modern. Produk-produk mereka dipakai oleh turis-turis mancanegara. Nyata-nyata sekarang bahwa tenunan pengrajin di DIY mampu dipasarkan, oleh distributor handal tentunya, sehingga mampu bersaing pada tataran global. Persaingan itu tentulah ketat karena mereka harus mengungguli produk asing lain di ’rumah sendiri’. Mutu produk memang tinggi dan dipercaya oleh turis-turis itu.
            Potensi itu ditambah dengan kepercayaan masyarakat Yogya kepada pemimpinnya. Masyarakat ini patuh dan tertib terhadap pejabatnya. Didalamnya kemudian timbul interaksi yang nyata menguntungkan: masyarakat meneladani pejabatnya dan pejabat memperhatikan kebutuhan masyarakatnya. Itulah yang sedang terjadi di Jogja. Dengan demikian, apapun yang dilakukan (bahkan mungkin yang dikenakan) oleh pejabatnya, akan diikuti oleh masyarakatnya.

Resolusi
            Dua potensi diatas kiranya dapat dikembangkan. Jarang sekali dijumpai daerah dengan kondisi ideal seperti ini: Masyarakatnya kreatif, distributor lokalnya handal, dan pejabatnya menjadi teladan. kondisi menguntungkan ini terjaga bila masing-masing komponen dapat saling membantu dan saling berbagi rejeki.
            Maka diusulkan beberapa langkah taktis untuk menjaga perimbangan ini. Pertama, pejabat mengenakan busana yang dipintal oleh pengrajin kain di daerahnya. Kedua, pada perayaan daerah, distributor terus-menerus melakukan promosi kepada berbagai lapisan masyarakat akan pentingnya produk lokal. Ketiga, pengrajin haruslah kreatif, inovatif, konsisten dalam menjaga dan mengembangkan mutu produknya.
            Dalam pelantikan legislatif nantipun, mengenakan busana beproduk lokal tidak akan mengurangi harga diri. Justru itu akan menambah kebanggaan dan menekan pemborosan anggaran akibat pengadaan seragam. Kiranya dengan ini kita semakin bangga menjadi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar