Yohanes Dian Alpasa: Jurnalis |
Berbagai sendi
hidup masyarakat kita tergilas oleh perkembangan dunia. Itu tidak bisa
dipungkiri. Mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan hingga perkembangan
produk-produk pasar, semua itu mempengaruhi bangsa Indonesia. Standar dunia itu
dicangkokkan sedemikian rupa pada pergaulan hidup sehari-hari hingga pada
tatanan birokrasi. Maksudnya, dari busana, perlengkapan, sampai pada peralatan
yang dipakai semua memakai standar yang ditetapkan orang luar kepada bangsa ini.
Itu semua tantangan. Namun, masih ada kesempatan untuk berbenah.
Ironi Label
Sungguh ironis bila kita gunakan
produk luar yang notabene sambil merem saja bisa kita hasilkan. Sepatu
harus impor, peralatan olahraga harus impor, bahkan baju yang bisa dijahit
sendiri harus didatangkan dari luar. Tidak bisakah para ibu menjahitnya? Atau
para bapak merancang desain sendiri yang lebih berkelas? Semua itu bisa dilakukan
oleh penjahit-perancang terampil di daerah ini.
Permasalahan pertama adalah pelabelan produk yang
dimiliki sebagai standar harga diri. Semakin impor barang yang dimiliki maka
semakin tinggilah harga dirinya. Barang-barang impor lebih mahal daripada
produk Indonesia. maka, harga diri pemakainya adalah seberapa yang ia keluarkan
untuk membeli barang kepemilikan itu. jadi, yang dimasalahkan pertama bukanlah
mutu, tetapi seberapa tinggi harga yang dipatokkan.
Label sebagai standar harga diri ini terjadi
dimana-mana bahkan di pelosok sekalipun. Mereka yang mampu membeli bukanlah
hanya pejabat tinggi dan pengusaha kaya saja. Orang-orang miskin yang berhutang
kepada tetangga atau pegadaian akan mampu membeli barang mewah ini. Mutu standar rendah tidak mengapa asalkan harganya
dapat meningkatkan status sosial.
Potensi
Daerah Istimewa Yogyakarta
memiliki pengrajin batik dan distributor modern. Produk-produk mereka dipakai
oleh turis-turis mancanegara. Nyata-nyata sekarang bahwa tenunan pengrajin di
DIY mampu dipasarkan, oleh distributor handal tentunya, sehingga mampu bersaing
pada tataran global. Persaingan itu tentulah ketat karena mereka harus
mengungguli produk asing lain di ’rumah sendiri’. Mutu produk memang tinggi dan
dipercaya oleh turis-turis itu.
Potensi itu ditambah
dengan kepercayaan masyarakat Yogya kepada pemimpinnya. Masyarakat ini patuh
dan tertib terhadap pejabatnya. Didalamnya kemudian timbul interaksi yang nyata
menguntungkan: masyarakat meneladani pejabatnya dan pejabat memperhatikan
kebutuhan masyarakatnya. Itulah yang sedang terjadi di Jogja. Dengan demikian,
apapun yang dilakukan (bahkan mungkin yang dikenakan) oleh pejabatnya, akan
diikuti oleh masyarakatnya.
Resolusi
Dua potensi diatas kiranya
dapat dikembangkan. Jarang sekali dijumpai daerah dengan kondisi ideal seperti
ini: Masyarakatnya kreatif, distributor lokalnya handal, dan pejabatnya menjadi
teladan. kondisi menguntungkan ini terjaga bila masing-masing komponen dapat
saling membantu dan saling berbagi rejeki.
Maka diusulkan beberapa
langkah taktis untuk menjaga perimbangan ini. Pertama, pejabat mengenakan busana
yang dipintal oleh pengrajin kain di daerahnya. Kedua, pada perayaan daerah,
distributor terus-menerus melakukan promosi kepada berbagai lapisan masyarakat
akan pentingnya produk lokal. Ketiga, pengrajin haruslah kreatif, inovatif,
konsisten dalam menjaga dan mengembangkan mutu produknya.
Dalam pelantikan legislatif
nantipun, mengenakan busana beproduk lokal tidak akan mengurangi harga diri.
Justru itu akan menambah kebanggaan dan menekan pemborosan anggaran akibat
pengadaan seragam. Kiranya dengan ini kita semakin bangga menjadi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar