Sabtu, 28 Juni 2014

Seni Menulis Jurnal

           Menulis? Mengapa harus menulis? Bukankah tradisi lisan kita sudah mulai mapan? Bukankah kita mampu berbicara dengan suara tanpa harus capek-capek menulis? Ya! Benar! Bahwa menulis kadang bukanlah hobi utama kita. Sudah banyak penulis yang mempopulerkan buku dan dengan sejumlah uang kita dapat mengonsumsi buku-buku bacaan yang murah dan berkualitas. Lalu, apa gunanya menulis?
        Menulis adalah sebuah kegiatan tradisi. Kita bisa masuk dalam sejarah karena menulis. Cobalah saudara – saudara periksa kembali ke belakang, ke sejarah hidup, kepada proses kehidupan umat manusia, disanalah terdapat sejarah. Sejarah bisa dibuktikan karena ada buktinya berupa karya – karya seni dan tulisan. Adanya sebuah tulisan adalah penanda dimulainya sejarah manusia – jaman dimana manusia mulai mengenal tulisan.
        Seorang Filsuf menyatakan bahwa tulisan dapat bertindak dalam dua cara berlawanan: pertama, dia bertindak sebagai obat yakni mengobati ingatan agar dapat melihat kembali memori yang ada di masa lalu. Kedua, tulisan kemudian bertindak sebagai racun karena memperlemah ingatan dan daya pikir manusia.
         Atas dasar itu, kita ambil sisi positifnya saja. Bahwa menulis adalah bagian dari upaya membangun peradaban. Tulisan kita, dalam bentuk apapun, akan berguna nantinya untuk menggambarkan suasana pikiran kita. Kata-kata yang terucap akan mudah lenyap sementara tulisan tak mudah lekang oleh waktu. Maka sekarang, semua tulisan adalah berguna.

            Orang bisa mengerti pemikiran kita melalui tulisan kita. Alangkah mirisnya bila seseorang mencaci karya tulis orang lain hanya karena dianggap tidak akademis, tidak berbobot, dan tidak bernilai sastra. Sekalipun cacian ini datang pada kita, tetaplah menulis karena tulisan tidak dapat dipugar begitu saja oleh ucapan. Selamat menulis!

Kamis, 26 Juni 2014

Menjaga Keutuhan Persahabatan

Lima Orang Mahasiswa Yogyakarta. Kelimanya sedang menempuh Studi Teologi pada Sebuah Kampus di Kota Yogyakarta. 














          Bilamana seorang teman serasa menyebalkan, maka tidak nyaman rasanya bersamanya terus menerus. Ingin rasanya menjauh dan tetap menjaga jarak. Namun, bagaimana rasanya bila seorang teman itu mampu menemani kita?  Bagaimana Ia hadir saat kita butuh dan ia mau terbuka saat dia dalam keterpurukan? Teman inilah yang nantinya dapat menjadi seorang sahabat bagi kita.

            Persahabatan dapat tercipta seiring bertambahnya waktu. Ada kalanya seorang teman tumbuh menjadi sahabat hingga masa senja. Ada kalanya seorang datang dan pergi tanpa bisa menjadi orang yang dekat dengan kita. Hal ini kemudian memungkinkan bahwa menjadi sahabat atau mencari sahabat tidak semudah yang dibayangkan. Selalu ada proses untuk mencapai buah persahabatan itu.

            Daripada menunggu-nunggu datangnya seorang sahabat, maka lebih baik kita sendiri yang harus memulai lebih dulu. Bagaimana caranya? Tentu dengan menguasai diri, membuka diri, dan siap untuk membantu teman lain yang membutuhkan dorongan. Dorongan ini dapat berupa motivasi, bantuan tenaga, bahkan bisa juga bantuan finansial. Pada intinya, kita buat orang lain nyaman bersama kita.

            Persahabatan pada dasarnya menjadi hubungan yang saling memberi dan menerima. Dalam persahabatan tidak ada hitung-hitungan. Bilamana kita memberi lalu kita penghitung barang atau apapun yang kita beri, maka rasanya kita memberi lebih banyak. Perasaan ini mengancam keutuhan persahabatan.

            Persahabatan pada dasarnya bertabur rasa iklhas untuk memberi. Keikhlasan dan kepedulian menjadi faktor penentu kelanggengan sebuah relasi. Bagaimana dengan teman-teman? Sudahkah kita ikhlas untuk memberi diri? Mari menjadi sahabat yang baik.