 |
Laporan Langsung dari Yogyakarta |
Tersendatnya aktifitas masyarakat Yogyakarta akibat hujan abu kiranya
dimaklumi. Dampak baik kesehatan maupun perekonomian cenderung merugikan
meskipun dalam beberapa waktu ke depan, diperkirakan kesuburan tanah akan
meningkat akibat senyawa hara dalam kandungan abu tersebut. Sekarang marilah beberapa
pihak diapresiasi atas usaha keras mereka meminimalisir penebaran debu.
Sementara apresiasi diberikan, sebagian pihak lain harus pula ditegur karena
keegoisan mereka agar penanganan debu dan bencana lain lebih efektif di masa
mendatang.
Masyarakat Dan Aparat Negara
Tengah hari pada Jumat, 14
Februari 2014, beberapa laporan menyebutkan bahwa jarak pandang di DIY dan
sekitarnya minim. Minimnya jarak pandang menyebabkan kecelakaan terjadi. Korban
luka segera dievakuasi dan beroleh penanganan. Berita menyoal minimnya jarak
pandang ini masih diwartakan hingga hari kedua dan hari ketiga. Namun, tidak
banyak orang menyimak bahwa minimnya jarak pandang tidak terjadi di semua
tempat.
Tebalnya abu pada jalanan,
atap gedung, dan atap rumah tidak dapat dibersihkan dengan segera. Beberapa
tempat seperti Bantul, Kulonprogo, pada Jumat (14/2) Sore telah sigap menyiram
debu dengan peralatan pertanian yang dimiliki. Jarak pandang pada titik-titik
masyarakat sigap ini telah berangsur normal dan tebaran debu dapat
diminimalisir. Sikap guyub dan gotong royong dari masyarakat terbukti efektif
dalam rangka mengurangi gangguan dari hujan abu ini.
Pada beberapa tempat lain,
Lembaga Aparatur Negara, seperti TNI dan petugas lain, telah berusaha dengan
gigih membersihkan debu di areal pos komando dan sekitarnya. Tindakan ini
cenderung positif dan sangat membantu. Pengguna jalan tidak terganggu oleh
banyak debu ketika melintas di areal sekitar pos.
Masalah Bersama?
Memang, penanganan debu
yang dilakukan oleh pemerintah belumlah maksimal. Banyak lembaga dan instansi
pemerintah telah berusaha tetapi kerugian akibat debu tetap dirasakan. Upaya
pengurangan debu menjadi tanggung jawab pemerintah. Pelaksanaannya dilakukan
oleh instansi yang mewakili. Disinilah masalahnya, penanganan debu dilakukan
oleh aparat keamanan dan petugas kebersihan kota. Dalam kenyataan di lapangan, upaya
penanganan debu hanya dilakukan oleh beberapa instansi tanpa melibatkan semua
aparat pemerintahan. Seolah masalah debu hanyalah masalah dari aparat keamanan
dan instansi kesehatan saja.
Debu telah mengguyur seluruh
DIY. Sebagian masyarakat segera menyadari gangguan debu sehingga mereka
bergotong-royong membersihkan debu yang ada. Di beberapa titik di Kota
Yogyakarta, debu beterbangan dan jarak pandang minim hingga hari ketiga. Tidak
tampak warga masyarakat yang bergotong-royong membersihkan debu pada area itu.
Masyarakat tidak bergotong-royong pada area pertokoan dan gedung-gedung
perkantoran. Sementara gedung-gedung ini cenderung menutup diri demi mencegah
debu masuk ke dalamnya. Hydrant dan selang air dibiarkan menganggur dan hanya
digunakan jika terjadi kebakaran saja.
Tawaran
Melenyapkan debu adalah
hal mustahil dilakukan dalam sekejap. Penanganannya butuh usaha ulet dan tekun
tak kenal menyerah. Masyarakat haruslah menyadari bahwa gangguan debu adalah
masalah bersama yang harus ditanggulangi bersama pula. Tidak perlu lagi ada
masyarakat yang menganggur dan egois mengamankan aset pribadi sementara kerja
bakti lingkungan sedang berlangsung.
Pemerintah dalam hal ini dapat melakukan beberapa
hal. Pertama, menggerakkan semua instansi untuk terjun mengurangi debu dengan
cara masing-masing di lingkungan DIY seperti pemadam kebakaran untuk penyiram
debu. Kedua, menegur semua pengelola gedung untuk menggunakan hydrant dan
sumber air lain dalam usaha penyingkiran debu dan memberi apresiasi kepada
masyarakat yang bergotong-royong. Ketiga, pemerintah memberi teladan dalam
bentuk aksi nyata yang bisa dicontoh langsung oleh masyarakat. Demikian,
kiranya gangguan akibat debu ini dapat berkurang.